Pascasarjana UMSU~Medan || Tim Peneliti Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) melaksanakan Focus Group Discussion dengan tema “Kebebasan Akademisi dalam Berpendapat Dan Berekspresi Melalui Media Sosial dalam Kajian Hukum “ di Meeting Room Kampus PPs UMSU, Jalan Denai 217 Medan, Sabtu (9/9).
Tim Peneliti Pascasarjana UMSU yang memprakarsai kegiatan ini adalah Prof. Dr. Triono Eddy S.H M.Hum (Ketua) dan Dr Onny Medaline,S.H, M.Kn (Anggota). Adapun peserta kegiatan ini adalah Dosen dan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Kegiatan FGD yang dipandu Hj. Rahmanita Ginting M.Sc, Ph.D (Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi UMSU) ini menghadirkan dua narasumber yang sangat kompeten di bidangnya, yakni Dr. Abdul Harris Nst, SH, M.Kn Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara) dan Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum (Dosen Hukum Internasional dan Pakar Cyber Law Universitas Sumatera Utara).
Dalam pidato pengantarnya, Prof. Dr. Triono Eddy S.H M.Hum menuturkan, kegiatan FGD ini bermaksud untuk menggali mengeksplorasi berbagai pemikiran yang solutif dan inovatif terkait dengan
permasalahaan yang menjadi tema penelitian.
“Karena itu kita sangat membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak untuk memaksimalkan dan memperdalam penelitian, sehingga nanti bisa memberikan sumbangsih pemikiran kepada negara demi menjaga integritas serta persatuan dan kesatuan bangsa,” jelas Prof. Dr. Triono Eddy S.H M.Hum.
Lebih lanjut Prof. Dr. Triono Eddy S.H M.Hum menjelaskan beberapa tujuan dari dilaksakannya FGD ini. Pertama, untuk memperkuat nilai-nilai karakter pada pemuda khususnya bagi kalangan akademisi.
Kedua, sebagai wadah untuk saling sharing antara akademisi perguruan tinggi dengan berbagai pihak yang terlibat dengan pembelajaran karakter dan juga etika dalam menyampaikan pendapat
Ketiga, untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang sering terjadi yakni terkait persoalan kebebasan berpendapat, khususnya di media sosial.
Keempat, untuk mengembangkan dan menemukan pembelajaran yang berwawasan global
Tentang Tata Cara Kebebasan Berpendapat
” Dan kelima untuk memberikan informasi tentang tata cara penyampaian pendapat di depan
umum atau di media elektronik/massa,” kata Prof. Dr. Triono Eddy S.H M.Hum.
Pendapat Bebas (Media Sosial) yang Terbatas
Tampil sebagai pemateri pertama, Dr. Abdul Harris Nst, SH, M.Kn menjelaskan tentang landasan hukum terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ditegaskannya, kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi, yakni termaktub pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Kemudian Abdul Harris menyinggung soal media sosial yang menjadi salah satu medium dominan untuk bersosialisasi dan menjadi wahana mencari informasi. Dijelaskannya, pertumbuhan pengguna Internet di Indonesia yang begitu besar menjadi indikasi jumlah penduduk yang semakin melek teknologi dan internet. Salah satu faktor bertambahnya pengguna internet adalah boomingnya tren media sosial dari pertengahan tahun 2000an higga sekarang ini
“Di satu sisi, tren ini merupakan hal positif yang bisa berpengaruh pada kemajuan bangsa. Media sosial sering kali menjadi tempat untuk mengeluarkan ekspresi dan pendapat,” ujarnya.
“Tetapi, di sisi lain, kebebasan berpendapat di dunia maya juga dapat berpotensi negatif, karena jumlah penggunanya yang begitu besar tentunya jadi sulit dikendalikan. Dewasa ini kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah hoax, drama, penipuan, ataupun fenomena sejenis lainnya. Itulah diantara ekses negatif yang kemudian muncul dan menjadi persoalan, bahkan bisa jadi ancaman terhadap kondusifitas kehidupan bangsa,” imbuhnya.
Namun, kata Abdul Harris, sebenarnya Indonesia sudah memiliki sejumlah regulasi dan peraturan perundang-undangan untuk menyiasati persoalan ini, seperti UU No.36 tahun 1999, UU No. 11 tahun 2008, dan UU No. 14 tahun 2008 untuk mengatur hal-hal seperti telekomunikasi dan keterbukaan informasi publik.
“Intinya, masyarakat harus diberi pemahaman, walaupun kebebasan berpendapat di media sosial itu dijamin dan dilindungi oleh hukum, tapi jangan lupa kebebasan itu sifatnya terbatas,” tegasnya.
Konsep HAM dan Kebebasan Berpendapat
Sementara itu, Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum mengawali paparannya dengan menjelaskan perbedaan antara konsep hak dan konsep kewajiban dalam kaca mata filosofi hukum. Hal ini penting untuk pahami, karena hak dan kewajiban ini menjadi dasar dari konsepsi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Secara filosofi hukum pengertian konsep hak adalah sesuatu yang bisa dinikmati, tetapi bisa atau boleh juga diabaikan. Sedangkan konsep kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan,” ujarnya.
“Kalau kita lihat, Dewi Keadilan yang menjadi lambang hukum itu memgang sebuah timbangan. Isi dari timbangan itu adalah hak dan kewajiban. Jadi maknanya, fungsi hukum adalah untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban,” imbuhnya.
Selanjutnya Jelly Leviza menceritakan sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi sumber dari kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Hak Asasi manusia atau HAM merupakan hak kodrati yang dimiliki setiap orang, telah menjadi satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan dari manusia itu sendiri. HAM mengalami perkembangnan dari masa ke masa hingga seperti saat ini,” sebutnya.
Jelly Leviza juga menjelaskan tentang landasan hukum dari kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam dunia akademis.
Dijelaskannya, pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dinyatakan dengan jelas bahwa dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
Kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan tridharma.
“Dari sini kita memahami, bahwa seluruh sivitas akademika dilindungi oleh konsep kebebasan akademi ini, termasuk kebebasan berpendapat para akademisi di media sosial,” kata Jelly Leviza.
Usai pemaparan kedua narasumber, FGD dilanjutkan dengan sesi diskusi yang melibatkan seluruh peserta FGD dengan narasumber. Tampak diskusi berjalan begitu interaktif, dimana sejumlah peserta diberi kesempatan untuk mengungkapkan pokok-pokok pikirannya terkait tema yang dibahas dalam FGD ini.
Tentunya kritik, saran maupun masukan dari peserta sangat bermanfaat untuk memperkaya dan memperdalam kajian dalam penelitian ini. (*)