Pascasarjana-UMSU || Ketua Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2DIKTI) Wilayah I Sumatera Utara Prof Dr Ibnu Hajar MSi menyamapaikan apresiasi terhadap prestasi dan kemajuan yang diraih UMSU yang sekarang menjadi PTS terbaik di Sumut, bahkan menjadi satu-satunya PTS yang meraih Akreditasi A di Sumatera.
Menurutnya, membangun lembaga pendidikan itu tidak serta-merta seperti membalik telapak tangan. Capain prestasi yang diraih UMSU sekarang ini tentu telah melalui perencanaan, kerja keras dan perjuangan yang sangat panjang.
“Lazimnya, sebuah lembaga pendidikan yang hebat itu tidak cukup hanya mengandalkan infrastruktur atau hard-ware saja, tapi harus ditopang oleh soft-ware yang mumpuni dan brain-ware yang cemerlang,” sebutnya saat tampil sebagai pemateri dalam acara Kuliah Perdana Pascasarjana UMSU Tahun Akademik 2020-2021 yang dilaksanakan secara virtual, Jum’at (23/10/2020)
Dalam kesempatan itu, Ibnu Hajar menegaskan, bahwa layanan pendidikan tinggi khususnya di Sumut harus terus dibenahi dan diatur sedemikian rupa agar tetap on the right track.
Ia mengungkapkan masih banyak persoalan yang harus diselesaikan terkait pelayanan pendidikan tinggi di Sumut. Dipaparkannya, dari 225 jumlah PTS di Sumut yang Akreditasi A itu tidak sampai 1 persen dan yang akreditasi B cuma 18 persen.
“Yang lebih memprihatinkan itu adalah ternyata masih banyak PTS kita di Sumut yang belum terakreditasi,” ungkapnya.
Jadi, menurut Ibnu Hajar, inilah problem sekaligus jadi tantangan pendidikan tinggi di Sumut, yakni bagaimana mengangkat performa PTS yang ada di Sumatera Utara.
Karena itu, ia mengingatkan, pada masa sekarang PT itu tidak mungkin lagi “bermain tunggal”. Artinya, bahasa sinergi dan integrasi adalah poin penting yang harus dipahami dan dilaksanakan dalam mengembangkan sebuah Perguruan Tinggi.
“Dengan segudan prestasi yang sudah diraihnya, maka UMSU sekarang sudah layak menjadi pionir, maka tularkan keberhasilan ini kepada PTS-PTS yang lain,” harapnya.
Kepada mahasiswa-mahasiswa baru Pascasarjana UMSU, ia menekankan tentang pentingnya memiliki karakter.
Mengutip pendapat Lickona, Ibnu Hajar menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yang diharapkan dimiliki oleh keluaran pendidikan; yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang mental dan moral action atau perbuatan moral.
“Hal ini diperlukan agar keluaran pendidikan itu mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilia-niali kebajikan,” jelasnya
Selain itu, lanjut Ibnu Hajar, ada tiga bentuk kecerdasa yang harus dipahami dengan baik oleh para peserta didik di semua level, yakni Intelligence Quotient, Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ).
Ketiga bentuk kecerdasan ini penting untuk dimiliki dan dikuasai. Tapi yang lebih utama adalah memiliki Spiritual Quotient (SQ), karena dalam konteks kekinian mereka akan digiring dalam bentuk pelajaran mandiri. Artinya dalam konteks konsep Kampus Merdeka yang diuji adalah kemandirian.
“Makanya dalam konteks penguatan aspek spiritual quotient ada sejumlah istilah dalam tradisi pendidikan Islam yang perlu dipahami, yakni tilawah, ta’lim dan tazkiah,” sebutnya.
Maka dalam tataran praksis, kata Ibnu Hajar, ada 4 skill yang harus dibudayakan dan dikembangan dalam pendidikan.
Pertama, berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah (critical thinking and problem-solving).
Kedua, kecakapan komunikas (communication-skill). Artinya urusan komunikasi berhubungan dengan karakter juga.
“Sudah tidak masanya lagi orang tidak bisa membuka diri atau menerima orang lain,” jelasnya.
Ketiga, kemampuan berkolaborasi (collaboration-skill). Menurutnya mustahil collaboration-skill ini bisa diwujudkan jika pendidikan yang didesain itu monolitik.
Keempat, kreativitas (creativity), yakni mampu mengembangkan ide-ide “gila” yang terbimbing dan tidak biasa lewat pengalaman-pengalaman yang sudah menjadi habituasi. (*)